Da Words of My Jesus


The Berean: 1 Tesalonika 4:3-8
Mei 8, 2009, 5:12 pm
Filed under: Moment of Peace, The Bereans | Tag: ,
1 Tesalonika 4:3-8
4:3 Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan,
4:4 supaya kamu masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi isterimu sendiri dan hidup di dalam pengudusan dan penghormatan,
4:5 bukan di dalam keinginan hawa nafsu, seperti yang dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah,
4:6 dan supaya dalam hal-hal ini orang jangan memperlakukan saudaranya dengan tidak baik atau memperdayakannya. Karena Tuhan adalah pembalas dari semuanya ini, seperti yang telah kami katakan dan tegaskan dahulu kepadamu.
4:7 Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus.
4:8 Karena itu siapa yang menolak ini bukanlah menolak manusia, melainkan menolak Allah yang telah memberikan juga Roh-Nya yang kudus kepada kamu.

Pertama, dapat diartikan sebagai gambaran visual terhadap sebuah cawan pernikahan, untuk menjadi setia kepadanya, setia atas komitmen yang telah kita buat. Sehingga dapat diartikan, “bahwa setiap orang dari padamu hendaknya tahu untuk setia kepada ikatan janji dalam kekudusan dan kehormatan”

Kedua, ungkapan ini ingin menunjukkan penguasaan diri, khususnya kepada tubuh orang itu sendiri. Dalam versi NIV ayat ini diterjemahkan sebagai, “bahwa setiap orang dari padamu harus belajar untuk menguasai tubuhnya sendiri dengan cara  yang kudus dan dalam kehormatan.” Paulus, dalam kesempatan ini mengarahkan kepada setiap anggota gereja, (baik laki-laki dan perempuan, yang telah menikah dan yang masih sendiri) bahwa mereka semua memiliki tugas untuk menjaga kemurnian dalam setiap hubungan.

Ketiga, ayat ini juga mengenai cara-cara seseorang berlaku kepada pasangan, masa kini maupun masa depan. Dalamversi Revised Standard Version, ayat ini dituliskan sebagai, “hendaknya setiap orang dari kamu tahu cara untuk mengambil seorang istri untuk dirinya sendiri di dalam kekudusan dan kehormatan.” Sama seperti 1 Petrus 3:7 yang juga menggambarkan istri sebagai perahu yang lebih lemah, dimana suami adalah nakhoda yang membawa kehormatan.

Ayat 6 mencantumkan kata “defraud” (NKJV) atau “memperdayakan”. Untuk mendapatkan arti yang sepenuhnya dari apa yang Paulus hendak ajarkan, pertama-tama kita harus meneliti bagian dari rencana Tuhan akan hubungan laki-laki dan perempuan yang ideal.

Apa yang menurut Tuhan ideal dalam masalah hubungan ini adalah ada 1 (dan hanya ada 1) pria bagi setiap perempuan, dan 1 (hanya 1) perempuan bagi setiap pria. Sangatlah jelas bahwa Tuhan membenci perceraian (baca Maleakhi 2:16); Dia membenci perpecahan dari perjanjian pernikahan, Dia juga membenci sakit secara emosional yang terlibat di dalam proses perpecahan itu, luka yang akan berbekas – yang harus ditanggung oleh anak-anak yang orang tuanya bercerai, dan sebagainya. Perceraian bagi Dia adalah sebuah kejijikan, akan tetapi, imoralitas seksual menjadi salah satu alasan bagiNya untuk membiarkan perceraian terjadi. Tuhan telah berulang kali memperingatkan kita terhadap hubungan sex yang berganti-ganti pasangan, dan Ia dengan sangat jelas menerangkan bahwa sex dan segala yang terlibat di dalamnya hanya diperbolehkan bagi dua orang yang sudah terikat dalam janji kepada pasangannya sepanjang hidup mereka di dunia.

Memandang lebih dalam akan 1 Tesalonika 4:3-8, diterangkan bahwa bagian dari tanggung jawab kita sebagai orang Kristen adalah menjaga kemurnian dalam hubungan kita. Kita bertanggung jawab untuk mengendalikan diri kita (“possess his vessel”) dengan cara-cara yang terhormat, tanpa nafsu perzinahan dan hasrat yang salah. Kita juga harus memastikan bahwa kita tidak “menyeberangi garis perbatasan dan memperdayai atau mencurangi siapapun dalam urusan ini.”

Intisari dari yang hendak Paulus sampaikan di sini adalah meskipun sebelum seorang pria menikah, ia masih dapat mencurangi calon pasangannya dalam sesuatu. Seorang pria dapat saja dicurangi dan tidak mengalami pengalaman berbagi dirinya yang seutuhnya kepada seorang perempuan, yang mana perempuan itu telah menyerahkan dirinya yang seutuhnya kepada sang pria, dalam berbagai cara yang mereka belum pernah alami. Meskipun seorang pria belum menikah, pada intinya ia sudah menjadi “milik” sang perempuan yang akan sang pria nikahi dan sebaliknya juga begitu bagi perempuan. Meskipun belum menikah, tapi kita sudah harus bertindak seperti sudah menikah.

Dengan demikian, jelaslah sudah, tubuh seorang pria adalah milik pasangannya (tanpa mempedulikan masa kini atau masa depan). Ini adalah prinsip dasar yang melatar belakangi banyak peringatan terhadap hubungan fisik yang berganti-ganti. Tapi, masih ada yang lebih jauh dari itu:

Bayangkan seorang pria muda yang berpendirian untuk menjaga kemurnian fisiknya, akan tetapi ia membagi yang tersisa dari dirinya yaitu “perasaannya” kepada setiap wanita yang ia jumpai. Hingga seluruh wanita di pelosok negeri itu tahu setiap harapan, kekhawatiran, impian dan segala pikiran yang terdalam dari pria ini. Ketika tiba hari pernikahannya, pria ini telah berbagi segalanya tentang dirinya kecuali tubuhnya. Bagaimanakah perasaan dari istri pria ini? Dimana istri dari pria ini menyadari bahwa perempuan lain selain dirinya telah “mengalami” hubungan dengan suaminya secara emosional meskipun tanpa hubungan sex.

Dengan cara yang sama, bayangkan seorang wanita muda yang secara fisik menjaga kemurniannya, akan tetapi membagi perasaannya dengan setiap pria muda yang ia temui. Wanita ini telah membagi bagian yang paling dalam dari dirinya, hal-hal yang sesungguhnya menjadi milik calon suaminya. Ini adalah salah satu alasan Tuhan berkata kepada kita, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan” (Amsal 4:23)

Kurang lebih, sama mudahnya untuk berganti pasangan secara emosional maupun secara fisik. Dan bahaya yang mengincar juga memiliki dampak yang lumayan: untuk terus menerus membentukan ikatan emosional dan hanya untuk memutuskannya; lalu membuat ikatan itu dengan orang yang lain, hanya untuk diputuskan lagi; mengikat lalu memutuskan. Percayalah, tidak akan membutuhkan waktu lama sebelum kita menjadi baal (kebal atau numb) secara emosional, dan berubah menjadi  seseorang yang enggan untuk membagi dirinya kepada siapapun, karena rasa sakit yang dihasilkan yang tidak dapat diluputkan. Ketika kondisi kebal atau baal secara emosional ini terbentuk, untuk membangun sebuah hubungan yang mendekati utuh yang mana diinginkan Tuhan berubah menjadi sangat sulit untuk menjadi kenyataan.

1 Tesalonika 4:6 mulai menjelaskan lebih dalam ketika kita mencari tahu arti dasar dari kata “mempedayakan”, yaitu “untuk menjanjikan sesuatu yang tidak dapat dipenuhi atau memang tidak berniat untuk menggenapi janji itu.” Masa sekarang ini, banyak orang mempraktekkan “flirting” atau sekedar iseng untuk merayu. Flirting ini berdiri di atas garis yang sama dengan berganti pasangan secara emosional, karena “flirting” merupakan sejenis “perdaya” atau “tipuan” (yang terkesan seperti menjanjikan atau hanya sekedar kelihatan) emosi, komitmen, perasaan seseorang, dan tipuan lainnya, tanpa memiliki maksud sesungguhnya untuk mengikat maupun menjalani hubungan itu. “Flirting” atau rayuan memberikan tampilan semata akan ketertarikan sesorang kepada seorang yang lain, atau rayuan itu bisa jadi sungguh adanya, akan tetapi yang merayu tidak  berniat untuk menepati janjinya.

Sebuah contoh permainan Flirting atau merayu di jaman modern, seorang pria muda berperilaku sedemikian rupa yang mana tidak seperti tujuan aslinya. Ia menunjukkan perbuatannya kepada seorang wanita seperti ia adalah wanita satu-satunya bagi sang pria muda ini, yang mana bahwa sesungguhnya sang pria muda ini tidak siap atau tidak berniat untuk menjalani proses ikatan tersebut. Dalam hal ini, sang wanita telah diperdaya atau dicurangi. Sang Pria telah menjanjikan sebuah ikatan emosional tanpa berniat untuk menjalaninya. Tidak heran dalam Alkitab dikatakan, “Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia” (Amsal 31:30)

Jika kita meluangkan waktu untuk merenungkan kepada siapa kita terikat secara fisik dan emosional pada masa kini maupun masa depan, kita dapat melihat bahwa beberapa tindakan kita masih jauh dari ideal. Menjadi jauh dari ideal jikalau, seorang pria berinteraksi dengan seorang wanita dengan cara-cara yang intim – padahal sang pria telah menikah dengan wanita lain, dan masih dianggap tidak pantas meskipun sang pria belum menikah.

Prinsip yang sama juga diterapkan pada tingkatan kerohanian kita, dan taruhannya dalam hal ini menjadi lebih besar. Dalam Amsal 19:14 berkata bahwa isteri yang berakal budi (menggunakan akal dan pengertian) adalah karunia TUHAN. Jika kita menerapkan ini pada gereja Perjanjian Baru, ditekankan berulang-ulang bahwa Tuhan yang memilih orang-orang yang akan menjadi mempelai perempuan bagi Putra-Nya. Allah Bapa akan tetap setia untuk menyediakan istri yang berakal budi, memiliki pengertian, dan sebagainya bagi Putra-Nya.

David C. Grabbe
From  Strange Women (Part Three)

Diterjemahkan dan disadur dari www.theberean.org


The Berean: 1 Thessalonians 4:3-8
Mei 6, 2009, 1:49 pm
Filed under: Moment of Peace, The Bereans | Tag: ,

1 Thessalonians 4:3-8

(3) For this is the will of God, your sanctification: that you should abstain from sexual immorality; (4) that each of you should know how to possess his own vessel in sanctification and honor, (5) not in passion of lust, like the Gentiles who do not know God; (6) that no one should take advantage of and defraud his brother in this matter, because the Lord is the avenger of all such, as we also forewarned you and testified. (7) For God did not call us to uncleanness, but in holiness. (8) Therefore he who rejects this does not reject man, but God, who has also given us His Holy Spirit.

Copyright © 1982 by Thomas Nelson, Inc.
The phrase “possess his own vessel” can mean a number of different things.

First, the visual imagery corresponds to the theme of being faithful to a cup—to the marriage commitment we have made. It could be translated, “that each of you should know how to be faithful to his covenant in sanctification and honor.”

Second, this phrase refers to self-control, specifically of one’s own body. The New International Version translates this verse as, “that each of you should learn to control his own body in a way that is holy and honorable.” Paul, in instructing the entire church—both male and female, married and single—shows it is the duty of all to preserve purity with regard to relationships.

Third, this verse refers to the way one acts with regard to a spouse, present or future. The Revised Standard Version translates this as “that each one of you know how to take a wife for himself in holiness and honor.” I Peter 3:7 likewise refers to the wife as a weaker vessel to which husbands are commanded to give honor.

Verse 6 includes the curious word “defraud.” To get the full understanding of what Paul is teaching here, we have to examine part of the God-plane ideal of the male/female relationship.

God’s ideal in this is that there is one (and only one) man for each woman, and one (and only one) woman for each man. It is very clear that God hates divorce (Malachi 2:16); He hates the breaking of that covenant, as well as the emotional pain that accompanies it, the scars that the children will have to bear, etc. As loathsome as divorce is to Him, however, sexual immorality is one of the reasons He gives for allowing divorce. He repeatedly warns against promiscuity, and He is very explicit that sex and everything that it involves are only allowable between two people who have made the commitment to each other for the duration of their physical lives.

Seeing I Thessalonians 4:3-8 in this light, part of our responsibility as Christians is purity within our relationships. We are responsible to control ourselves (“possess his vessel”) in an honorable way without lust or wrong desire. We also have to make sure we do not “go beyond”—cross the line—and defraud or cheat anyone in this matter.

The essence of what Paul is saying here is that even before a man is married, he can cheat his future spouse out of something! A man can be cheated out of the experience of completely sharing himself with a woman, who is in turn completely sharing herself with him, in a way neither of them has experienced before. Even if a man is not yet married, in essence he already “belongs” to the woman that he will eventually marry, and vice versa for the woman. Even when not married, we have to conduct ourselves as though we are!

It is clear, then, that a man’s body belongs to his spouse—whether current or future. This is the principle behind the many warnings against physical promiscuity. But it can go even further than that:

Imagine a young man who is determined to remain physically pure, and yet shares the rest of himself—his emotions, specifically—with every girl he meets. Every girl in the county knows his hopes, fears, dreams, the innermost workings of his mind. When he marries, he will have shared everything about himself except his body. How would his wife feel, knowing that all the other girls had already “experienced” him in all but the sexual act?

In the same way, imagine a young lady who remains physically pure but shares her emotions with all the young men she meets. She will have shared parts of her innermost being, things that really belong to her future husband. This is one reason why God tells us, “Keep [guard] your heart with all diligence” (Proverbs 4:23)!

It is just as easy to be emotionally promiscuous as physically promiscuous, if not more so. And the dangers are significant: continually forming emotional bonds, only later to break them; make them again with someone else, then break them; make them, break them. It will not take long before emotional calluses begin to develop, and a person is unwilling to share him/herself anymore because of the inevitable pain that results. When these calluses develop, it is very difficult for any future relationship to be anywhere near as fulfilling as what God intends.

I Thessalonians 4:6 begins to take on an even deeper meaning when we consider that a basic definition of the word “defraud” is “to promise something one cannot or does not intend to deliver.” Today, many practice flirting. Along the same lines as emotional promiscuity, this kind of defrauding promises—either blatantly guaranteeing or merely appearing to—one’s emotions, commitment, affections, etc., without meaning to or being able to follow through. Flirting gives the appearance of interest, or it may even be genuine interest, where one cannot follow through with his “promises.”

In the modern game of flirting, for example, a young man may behave in a manner that does not match up with his true intent. If he is demonstrating in his actions that a certain girl is the one (and only one) for him, yet is unprepared or refuses to follow through with that process, the girl has been defrauded or cheated. The man has been “promising” an emotional bond without following through. No wonder the Bible says, “Charm is deceitful and beauty is passing” (Proverbs 31:30)!

If we consider that individually we belong to our present or future spouse (physically and emotionally), we can see that certain actions are far from the ideal. That is, if it is inappropriate for a man to interact with a woman in a certain way if he were married to another, it is most likely still inappropriate even if he is not yet married.

This same principle applies on the spiritual level, and the stakes are much higher. Proverbs 19:14 tells us that a prudent (sensible, understanding) wife is a gift from God. When we apply this to the New Covenant church, it reiterates that it is God that chooses who will be a part of the Bride for His Son. God the Father will be faithful to provide a wife that is prudent, sensible, etc., for His Son.

David C. Grabbe
From  Strange Women (Part Three)


The Berean: Kisah Para Rasul 10:9-16
April 27, 2009, 2:56 pm
Filed under: Moment of Peace, The Bereans | Tag: ,
Kisah Para Rasul 10:9-16
10:9 Keesokan harinya ketika ketiga orang itu berada dalam perjalanan dan sudah dekat kota Yope, kira-kira pukul dua belas tengah hari, naiklah Petrus ke atas rumah untuk berdoa.
10:10 Ia merasa lapar dan ingin makan, tetapi sementara makanan disediakan, tiba-tiba rohnya diliputi kuasa ilahi.
10:11 Tampak olehnya langit terbuka dan turunlah suatu benda berbentuk kain lebar yang bergantung pada keempat sudutnya, yang diturunkan ke tanah.
10:12 Di dalamnya terdapat pelbagai jenis binatang berkaki empat, binatang menjalar dan burung.
10:13 Kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata: “Bangunlah, hai Petrus, sembelihlah dan makanlah!”
10:14 Tetapi Petrus menjawab: “Tidak, Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir.”
10:15 Kedengaran pula untuk kedua kalinya suara yang berkata kepadanya: “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram.”
10:16 Hal ini terjadi sampai tiga kali dan segera sesudah itu terangkatlah benda itu ke langit.

Ayat-ayat ini seringkali digunakan sebagai “bukti” bahwa hukum Allah sudah tidak berlaku atas binatang yang boleh dan tidak boleh dimakan. Akan tetapi, melalui analisa akhir, perikop ini sama sekali tidak membahas tentang daging yang tahir maupun yang haram bagi orang Kriten untuk dikonsumsi.

Dalam penglihatan yang diterima Petrus, selembar kain yang besar penuh dengan binatang yang haram yang diturunkan dari surga, dan sebuah suara berkata, “Bangunlah, hai Petrus, sembelihlah dan makanlah!” Bagaimanapun, tanpa keraguan sedikitpun Petrus membalas, “Tidak, Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir.” (ayat 14). Lalu Sang Suara membalas, ” “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram.” (ayat 15).

Pertama, apakah tujuan dari Kis 10 ini? Jikalau kita membaca pasal ini dengan menyeluruh, kita akan mendapati bahwa pasal ini sepenuhnya ditujukan mengenai perubahan Kornelius, seorang perwira kerajaan Roma (ayat 1), dia adalah yang pertama dari keturunan di luar bangsa Yahudi yang dibaptis, masuk ke dalam Bait Allah. Untuk dapat memahami Penglihatan Petrus ini dengan benar, kita harus memahami lebih dahulu bahwa Penglihatan Petrus adalah latar belakang dari keseluruhan pasal ini.

Kedua, terlihat dengan jelas dalam ayat 17 bahwa pada awalnya Petrus sendiri tidak mengerti maksud dari penglihatan yang didapatnya; tapi yang pasti adalah ia tidak dengan segera membuat kesimpulan bahwa semua daging telah menjadi tahir. Sementara ia sedang bergumul dengan penglihatannya itu, seorang utusan dari Kornelius tiba dan memintanya untuk mengikuti mereka ke Kaisarea untuk bertemu dan berbicara kepada perwira itu. Lalu Tuhan berkata kepada sang rasul (Petrus) untuk segera berangkat dengan mereka, “sebab Aku yang menyuruh mereka ke mari.” (ayat 20). Terlihat dengan jelas, bahwa Tuhan kita sudah merancangkan dan menuntun setiap pribadi yang terlibat dalam skenario ini.

Ketiga, jika daging yang haram telah disetujui, bukankah Petrus telah mengerti ini terlebih dahulu dengan berdasarkan pelajaran yang ia dapat dari Yesus sendiri? Karena Petrus telah hidup bersama Sang Juru Selamat selamat lebih dari tiga tahun. Jikalau semua orang sudah mengetahui kalau hukum tentang daging yang tahir dan yang haram telah dihapus oleh korban kematian Kristus, bukankah seharusnya Petrus sudah lebih tahu duluan? Akan tetapi di dalam titik ini, setelah sepuluh tahun lamanya, Petrus tidak bertindak seperti itu. Petrus masih memegang hukum untuk tidak memakan daging yang haram.

Keempat, ketika ia berkata “Tidak, Tuhan” (dalam bahasa Inggris “Not so, Lord!”) kepada Sang Suara, pada saat itu Petrus membalas dengan sangat yakin bahwa suara itu adalah milik Tuhan, dan di dalam bendahara kata dalam bahasa Inggris, pernyataan Petrus ini setara dengan “No way!” atau “Tidak akan pernah”. Ini adalah sebuah perintah yang para rasul ketahui kalau perintah untuk makan bertentangan dengan segala yang para rasul telah ketahui tentang hukum Tuhan. Meskipun Sang Suara terus mengulang perintah tersebut dua kali lagi (lihat ayat 16), tertulis Petrus tidak pernah merubah pendiriannya!

Kelima, di dalam konteks ini, Petrus sendiri mengungkapkan maksud dari penglihatan tersebut. Kepada semua orang yang berkumpul di rumah Kornelius, Petrus berkata, “Kamu tahu, betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka. Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir.” (ayat 28). Penglihatan tentang binatang yang tidak tahir hanyalah sekedar ilustrasi yang Tuhan gunakan untuk menolong Petrus untuk dapat mengerti bahwa keselamatan tersedia bagi orang-orang yang sebelumnya tertahan pada panjangnya lengan (lihat Kis 11:18). Lebih lanjut lagi, hal ini merupakan bukti lebih jauh akan Roh Kudus yang dicurahkan dan dapat dilihat oleh mata orang-orang yang hadir pada saat itu (Kis 10:44-47). Tidak seorangpun, baik Petrus maupun Lukas yang membuat komentar lebih jauh mengenai makanan yang tahir dan tidak tahir, cukup berhenti sampai penglihatan yang sebenarnya membawa maksud lebih besar.

Terakhir, tidak pernah ditemukan di dalam konteks ini yang mengatakan bahwa Tuhan telah mentahirkan daging yang tidak tahir – ini adalah sebuah kesimpulan yang dibuat para pembacanya dengan pemahaman yang tertanam yang telah bertentangan dengan peraturan yang mengatur apa yang boleh kita makan. Seperti Paulus berkata, “Sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya.” (Roma 8:7). Kis 10:1 – memastikan bahwa “apa yang telah Tuhan tahirkan” adalah keturunan bangsa di luar bangsa Yahudi, bukanlah mentahirkan makanan yang haram.

John O. Reid
From  Did God Change the Law of Clean and Unclean Meats?

Diterjemahkan dari http://www.theberean.org



The Berean: Acts 10:9-16
April 27, 2009, 11:32 am
Filed under: Moment of Peace, The Bereans | Tag: ,

Acts 10:9-16

(9) The next day, as they went on their journey and drew near the city, Peter went up on the housetop to pray, about the sixth hour. (10) Then he became very hungry and wanted to eat; but while they made ready, he fell into a trance (11) and saw heaven opened and an object like a great sheet bound at the four corners, descending to him and let down to the earth. (12) In it were all kinds of four-footed animals of the earth, wild beasts, creeping things, and birds of the air. (13) And a voice came to him, “Rise, Peter; kill and eat.” (14) But Peter said, “Not so, Lord! For I have never eaten anything common or unclean.” (15) And a voice spoke to him again the second time, “What God has cleansed you must not call common.” (16) This was done three times. And the object was taken up into heaven again.

Copyright © 1982 by Thomas Nelson, Inc.

These verses are often touted as “proof” that God’s law concerning clean and unclean animals have been abolished. However, in the final analysis, this passage is not even about clean and unclean meats!

In Peter’s vision, a huge sheet full of unclean animals is lowered from heaven, and a voice says, “Rise, Peter; kill and eat.” However, without hesitation Peter replies, “Not so, Lord! For I have never eaten anything common or unclean” (verse 14). The Voice then responds, “What God has cleansed you must not call common” (verse 15).

First, what is the subject of Acts 10? It is evident from a thorough reading of the chapter that it is entirely devoted to the conversion of Cornelius, a Roman centurion (verse 1), the first Gentile baptized into God’s church. Peter’s vision must be understood against this background to be understood correctly.

Second, it is apparent that Peter himself does not at first understand what his vision meant (verse 17); he certainly does not jump to the conclusion that all meats are now clean. While he is pondering it, a delegation from Cornelius arrives and requests that he travel with them to Caesarea to speak to the centurion. God tells the apostle directly to go with the men, “for I have sent them” (verse 20). Obviously, God was orchestrating the whole affair.

Third, if unclean meats had been approved, would Peter have not understood this from what he had learned from Jesus? He lived with his Savior for over three years. If anyone knew that the law of clean and unclean meats had been abolished by Christ’s sacrificial death, it would have been Peter, but at this point, a decade later, he is operating under no such notion.

Fourth, his reply to the Voice, which Peter identifies as the Lord’s, is quite confident, even vehement: “Not so, Lord!” In our colloquial English, this is equivalent to “No way!” This was a command that the apostle knew went against everything he knew about God’s law. Even though the Voice repeats the command twice more (verse 16), Peter never changes his mind!

Fifth, within the context, Peter himself reveals what the vision meant. To those assembled in Cornelius’ house, he says, “You know how unlawful it is for a Jewish man to keep company with or go to one of another nation. But God has shown me that I should not call any man common or unclean” (verse 28). The vision of unclean animals was merely an illustration God used to help Peter understand that salvation was open to those previously held at arm’s length (see Acts 11:18). This is further evidenced by the Holy Spirit being poured out visibly on these Gentiles (Acts 10:44-47). Neither Peter nor Luke, the author of Acts, makes any further commentary regarding clean or unclean foods, as the vision had served a greater purpose.

Lastly, nowhere in the context is it ever said that God had cleansed unclean meats—this is something assumed by readers with a predisposition against this statute regulating what we should eat. As Paul says, “The carnal mind is enmity against God; for it is not subject to the law of God, nor indeed can be” (Romans 8:7). Acts 10:1—11:18 confirms that “what God has cleansed” is the Gentiles, not unclean foods.

John O. Reid
From  Did God Change the Law of Clean and Unclean Meats?



The Berean: Matius 24:24
Maret 19, 2009, 11:45 am
Filed under: Moment of Peace, The Bereans | Tag: ,
Matius 24:24
24:24 Sebab Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mereka akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga.
Wahyu 13:13-14
13:13 Dan ia mengadakan tanda-tanda yang dahsyat, bahkan ia menurunkan api dari langit ke bumi di depan mata semua orang.
13:14 Ia menyesatkan mereka yang diam di bumi dengan tanda-tanda, yang telah diberikan kepadanya untuk dilakukannya di depan mata binatang itu. Dan ia menyuruh mereka yang diam di bumi, supaya mereka mendirikan patung untuk menghormati binatang yang luka oleh pedang, namun yang tetap hidup itu.
Matius 7:22-23
7:22 Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?
7:23 Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”
Ulangan 13:1-5
13:1 Apabila di tengah-tengahmu muncul seorang nabi atau seorang pemimpi, dan ia memberitahukan kepadamu suatu tanda atau mujizat,
13:2 dan apabila tanda atau mujizat yang dikatakannya kepadamu itu terjadi, dan ia membujuk: Mari kita mengikuti allah lain, yang tidak kaukenal, dan mari kita berbakti kepadanya,
13:3 maka janganlah engkau mendengarkan perkataan nabi atau pemimpi itu; sebab TUHAN, Allahmu, mencoba kamu untuk mengetahui, apakah kamu sungguh-sungguh mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu.
13:4 TUHAN, Allahmu, harus kamu ikuti, kamu harus takut akan Dia, kamu harus berpegang pada perintah-Nya, suara-Nya harus kamu dengarkan, kepada-Nya harus kamu berbakti dan berpaut.
13:5 Nabi atau pemimpi itu haruslah dihukum mati, karena ia telah mengajak murtad terhadap TUHAN, Allahmu, yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir dan yang menebus engkau dari rumah perbudakan–dengan maksud untuk menyesatkan engkau dari jalan yang diperintahkan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk dijalani. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.

Dalam setiap hal, Kristus menasehati bahwa kita harus menjaga sikap skeptis yang sehat terhada mujizat, karena mujizat bisa saja menipu. Bukan masalah mujizat itu nyata terjadi atau tidak. Hal yang terpenting yang ingin dibahas adalah apakah mujizat itu menyatakan kebenaran? apakah mujizat tersebut menyatakan kenyataan yang sesungguhnya yaitu kehendak Tuhan?

Dalam instruksi yang disampaikan Yesus dalam Perjanjian Baru (Mat 24:24; 7:22-23; Wah 13:13-14) dan dalam pengajaran Musa melalui Perjanjian Lama (Ulangan 13:1-5), meskipun ada mujizat itu nyata akan tetapi dengan sangat jelas jika seseorang mencoba untuk menerapkan bahwa kita bebas untuk tidak mematuhi Tuhan, mujizat itu bukanlah bukti kuasa Allah yang sesungguhnya. Memang sebuah mujizat, tetapi mujizat itu tidak memastikan kebenaran Tuhan.

Secara khusus kita harus bersikap skeptis kepada mereka yang berkata bahwa mereka percaya bahwa mereka harus hidup menurut hukum Tuhan, dan kemudian berpaling dan berkata bahwa hari Sabat dan hari-hari kudus lainnya tidaklah lagi diperlukan dan bahwa “orang Kristen yang sesungguhnya” dapat tetap melakukan perayaan Natal, Paskah, Halloween, dan lain-lainnya. Akan tetapi mereka “percaya” bahwa mereka melakukan itu semua untuk menjaga hukum Tuhan! Biasanya orang-orang yang seperti ini adalah orang-orang yang sangat baik di lingkungan mereka dan oleh karena itu banyak yang mudah tertipu olehnya.

John W. Ritenbaugh

sumber: http://theberean.org/index.cfm/fuseaction/Home.showBerean/BereanID/7717/Matthew-24-24