Pertama, dapat diartikan sebagai gambaran visual terhadap sebuah cawan pernikahan, untuk menjadi setia kepadanya, setia atas komitmen yang telah kita buat. Sehingga dapat diartikan, “bahwa setiap orang dari padamu hendaknya tahu untuk setia kepada ikatan janji dalam kekudusan dan kehormatan”
Kedua, ungkapan ini ingin menunjukkan penguasaan diri, khususnya kepada tubuh orang itu sendiri. Dalam versi NIV ayat ini diterjemahkan sebagai, “bahwa setiap orang dari padamu harus belajar untuk menguasai tubuhnya sendiri dengan cara yang kudus dan dalam kehormatan.” Paulus, dalam kesempatan ini mengarahkan kepada setiap anggota gereja, (baik laki-laki dan perempuan, yang telah menikah dan yang masih sendiri) bahwa mereka semua memiliki tugas untuk menjaga kemurnian dalam setiap hubungan.
Ketiga, ayat ini juga mengenai cara-cara seseorang berlaku kepada pasangan, masa kini maupun masa depan. Dalamversi Revised Standard Version, ayat ini dituliskan sebagai, “hendaknya setiap orang dari kamu tahu cara untuk mengambil seorang istri untuk dirinya sendiri di dalam kekudusan dan kehormatan.” Sama seperti 1 Petrus 3:7 yang juga menggambarkan istri sebagai perahu yang lebih lemah, dimana suami adalah nakhoda yang membawa kehormatan.
Ayat 6 mencantumkan kata “defraud” (NKJV) atau “memperdayakan”. Untuk mendapatkan arti yang sepenuhnya dari apa yang Paulus hendak ajarkan, pertama-tama kita harus meneliti bagian dari rencana Tuhan akan hubungan laki-laki dan perempuan yang ideal.
Apa yang menurut Tuhan ideal dalam masalah hubungan ini adalah ada 1 (dan hanya ada 1) pria bagi setiap perempuan, dan 1 (hanya 1) perempuan bagi setiap pria. Sangatlah jelas bahwa Tuhan membenci perceraian (baca Maleakhi 2:16); Dia membenci perpecahan dari perjanjian pernikahan, Dia juga membenci sakit secara emosional yang terlibat di dalam proses perpecahan itu, luka yang akan berbekas – yang harus ditanggung oleh anak-anak yang orang tuanya bercerai, dan sebagainya. Perceraian bagi Dia adalah sebuah kejijikan, akan tetapi, imoralitas seksual menjadi salah satu alasan bagiNya untuk membiarkan perceraian terjadi. Tuhan telah berulang kali memperingatkan kita terhadap hubungan sex yang berganti-ganti pasangan, dan Ia dengan sangat jelas menerangkan bahwa sex dan segala yang terlibat di dalamnya hanya diperbolehkan bagi dua orang yang sudah terikat dalam janji kepada pasangannya sepanjang hidup mereka di dunia.
Memandang lebih dalam akan 1 Tesalonika 4:3-8, diterangkan bahwa bagian dari tanggung jawab kita sebagai orang Kristen adalah menjaga kemurnian dalam hubungan kita. Kita bertanggung jawab untuk mengendalikan diri kita (“possess his vessel”) dengan cara-cara yang terhormat, tanpa nafsu perzinahan dan hasrat yang salah. Kita juga harus memastikan bahwa kita tidak “menyeberangi garis perbatasan dan memperdayai atau mencurangi siapapun dalam urusan ini.”
Intisari dari yang hendak Paulus sampaikan di sini adalah meskipun sebelum seorang pria menikah, ia masih dapat mencurangi calon pasangannya dalam sesuatu. Seorang pria dapat saja dicurangi dan tidak mengalami pengalaman berbagi dirinya yang seutuhnya kepada seorang perempuan, yang mana perempuan itu telah menyerahkan dirinya yang seutuhnya kepada sang pria, dalam berbagai cara yang mereka belum pernah alami. Meskipun seorang pria belum menikah, pada intinya ia sudah menjadi “milik” sang perempuan yang akan sang pria nikahi dan sebaliknya juga begitu bagi perempuan. Meskipun belum menikah, tapi kita sudah harus bertindak seperti sudah menikah.
Dengan demikian, jelaslah sudah, tubuh seorang pria adalah milik pasangannya (tanpa mempedulikan masa kini atau masa depan). Ini adalah prinsip dasar yang melatar belakangi banyak peringatan terhadap hubungan fisik yang berganti-ganti. Tapi, masih ada yang lebih jauh dari itu:
Bayangkan seorang pria muda yang berpendirian untuk menjaga kemurnian fisiknya, akan tetapi ia membagi yang tersisa dari dirinya yaitu “perasaannya” kepada setiap wanita yang ia jumpai. Hingga seluruh wanita di pelosok negeri itu tahu setiap harapan, kekhawatiran, impian dan segala pikiran yang terdalam dari pria ini. Ketika tiba hari pernikahannya, pria ini telah berbagi segalanya tentang dirinya kecuali tubuhnya. Bagaimanakah perasaan dari istri pria ini? Dimana istri dari pria ini menyadari bahwa perempuan lain selain dirinya telah “mengalami” hubungan dengan suaminya secara emosional meskipun tanpa hubungan sex.
Dengan cara yang sama, bayangkan seorang wanita muda yang secara fisik menjaga kemurniannya, akan tetapi membagi perasaannya dengan setiap pria muda yang ia temui. Wanita ini telah membagi bagian yang paling dalam dari dirinya, hal-hal yang sesungguhnya menjadi milik calon suaminya. Ini adalah salah satu alasan Tuhan berkata kepada kita, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan” (Amsal 4:23)
Kurang lebih, sama mudahnya untuk berganti pasangan secara emosional maupun secara fisik. Dan bahaya yang mengincar juga memiliki dampak yang lumayan: untuk terus menerus membentukan ikatan emosional dan hanya untuk memutuskannya; lalu membuat ikatan itu dengan orang yang lain, hanya untuk diputuskan lagi; mengikat lalu memutuskan. Percayalah, tidak akan membutuhkan waktu lama sebelum kita menjadi baal (kebal atau numb) secara emosional, dan berubah menjadi seseorang yang enggan untuk membagi dirinya kepada siapapun, karena rasa sakit yang dihasilkan yang tidak dapat diluputkan. Ketika kondisi kebal atau baal secara emosional ini terbentuk, untuk membangun sebuah hubungan yang mendekati utuh yang mana diinginkan Tuhan berubah menjadi sangat sulit untuk menjadi kenyataan.
1 Tesalonika 4:6 mulai menjelaskan lebih dalam ketika kita mencari tahu arti dasar dari kata “mempedayakan”, yaitu “untuk menjanjikan sesuatu yang tidak dapat dipenuhi atau memang tidak berniat untuk menggenapi janji itu.” Masa sekarang ini, banyak orang mempraktekkan “flirting” atau sekedar iseng untuk merayu. Flirting ini berdiri di atas garis yang sama dengan berganti pasangan secara emosional, karena “flirting” merupakan sejenis “perdaya” atau “tipuan” (yang terkesan seperti menjanjikan atau hanya sekedar kelihatan) emosi, komitmen, perasaan seseorang, dan tipuan lainnya, tanpa memiliki maksud sesungguhnya untuk mengikat maupun menjalani hubungan itu. “Flirting” atau rayuan memberikan tampilan semata akan ketertarikan sesorang kepada seorang yang lain, atau rayuan itu bisa jadi sungguh adanya, akan tetapi yang merayu tidak berniat untuk menepati janjinya.
Sebuah contoh permainan Flirting atau merayu di jaman modern, seorang pria muda berperilaku sedemikian rupa yang mana tidak seperti tujuan aslinya. Ia menunjukkan perbuatannya kepada seorang wanita seperti ia adalah wanita satu-satunya bagi sang pria muda ini, yang mana bahwa sesungguhnya sang pria muda ini tidak siap atau tidak berniat untuk menjalani proses ikatan tersebut. Dalam hal ini, sang wanita telah diperdaya atau dicurangi. Sang Pria telah menjanjikan sebuah ikatan emosional tanpa berniat untuk menjalaninya. Tidak heran dalam Alkitab dikatakan, “Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia” (Amsal 31:30)
Jika kita meluangkan waktu untuk merenungkan kepada siapa kita terikat secara fisik dan emosional pada masa kini maupun masa depan, kita dapat melihat bahwa beberapa tindakan kita masih jauh dari ideal. Menjadi jauh dari ideal jikalau, seorang pria berinteraksi dengan seorang wanita dengan cara-cara yang intim – padahal sang pria telah menikah dengan wanita lain, dan masih dianggap tidak pantas meskipun sang pria belum menikah.
Prinsip yang sama juga diterapkan pada tingkatan kerohanian kita, dan taruhannya dalam hal ini menjadi lebih besar. Dalam Amsal 19:14 berkata bahwa isteri yang berakal budi (menggunakan akal dan pengertian) adalah karunia TUHAN. Jika kita menerapkan ini pada gereja Perjanjian Baru, ditekankan berulang-ulang bahwa Tuhan yang memilih orang-orang yang akan menjadi mempelai perempuan bagi Putra-Nya. Allah Bapa akan tetap setia untuk menyediakan istri yang berakal budi, memiliki pengertian, dan sebagainya bagi Putra-Nya. |